“Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat dari kata-kata keras yang kukeluarkan dari jiwa yang pedih, aku akan bersyukur kepada Allah untuk keadilan-Nya yang memberikan kenikmatan padaku dalam hukuman: kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntutlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar!” – [dr. Tjipto Mangoenkoesoemo]
Saya berdebar membaca deretan kalimat yang seakan taburan peluru melesat ke udara menghujam siapa saja yang hendak meragukannya. Dr Tjipto, ia dikenang sebagai dokter, penulis, jurnalis dan pejuang pergerakan nasional. Ia kerap dipenjara dan diasingkan, tapi Belanda sering pula melunak agar Tjipto lebih kompromis dan tidak terlalu banyak tingkah.
Pada tahun 1911 di Malang ia punya andil besar dalam memberantas wabah pes hingga pemerintah Hindia Belanda menganugerahkan bintang emas untuknya. Namun ia tak sudi menerima penghargaan dari penjajah bangsanya. Dengan menempelkan bintang emas itu di pantat sebagai bentuk penentangannya, Tjipto pergi ke Batavia untuk mengembalikan penghargaan tersebut kepada yang memberikannya. Ia seakan ikon sempurna untuk sebuah sikap idealisme.
Menjadi idealis adalah memilih ruas jalan yang sepi. Karena tak mudah mengajak siapapun untuk melaluinya. Bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kenapa dr Tjipto enggan meragu? Bagaimana ia melangkah tegap saat digulag dalam jeruji besi yang dingin oleh pemerintah kolonial? Mudah bagi kita untuk menduganya, karena ada musuh yang harus dilawan. Sudah menjadi pengetahuan bersama, situasi sulit menyimpan berbagai potensi untuk mengkreasi karakter seorang manusia.
Ia dapat saja menempa seseorang menjadi pahlawan, sebaliknya mungkin saja bersembunyi sebagai pengkhianat. Seperti halnya tokoh-tokoh pergerakan nasional lain terutama di kalangan dokter seperti dr Soetomo, dr Wahidin dan lain-lain, dr Tjipto memilih menjadi pahlawan. Namun, bergantung dari situasi di luar semata tak sepenuhnya menentukan. Harus juga ada energi internal yang akan mengobarkan bara api idealisme.
Begitulah, dr Tjipto yang berasal dari kalangan priyai telah menampik kenyamanan hidup yang rupanya tak membuatnya bahagia. Ia pun memilih melayani bangsanya yang kucel ketimbang bersekutu dengan Belanda yang perlente. Ia tak memilih kemewahan dan kenyamanan dan ia bahagia! Bagaimana bisa?
Mungkin ini bisa menjelaskan. Pendidikan dokter, setidaknya dalam enam tahun dan kemudian bekerja sebagai seorang dokter kemudian, secara alamiah membuat seseorang dekat dengan penderitaan. Penderitaan, kesedihan bahkan kematian. Maka sudah semestinya pun secara alamiah akan tumbuh sikap simpati dan empati dalam diri seorang dokter. Jadi dalam hal ini idealisme merupakan sebuah kisah natural.
Suatu ke-alamiah-an senantiasa teguh dan konsisten dalam perjalanan waktu. Ia mengakar dan sulit dikikis. Maka jeruji besi takkan kuasa membuat redup bara api cinta negeri dr Tjipto dan sejawat-sejawatnya dalam romantika pergerakan nasional. Ia sepenuhnya menyadari, bila simpati dan empati saja tak cukup maka kita harus turut dalam derita. Gagasan ini terasa aktual pada saat idealisme dokter modern diuji di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini. Menghadapi hari-hari berat yang dipenuhi regulasi di bidang pelayanan medis yang terasa merugikan dokter dan rumah sakit, meminta dokter untuk merenung ke masa kelam penjajahan dulu.
Betul saat ini kita tak lagi menghadapi musuh kolonial namun musuh lebih berat menantang di depan mata. Apa itu? Wilayah negeri yang luas, jumlah penduduk yang besar, distribusi tenaga kesehatan yang tak merata, tuntutan budaya konsumerisme yang kian mencekik dan sebagainya. Situasi rumit ini tak pelak telah menghasut dokter untuk mencederai spirit idealismenya. Idealisme, satu-satunya kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda, begitulah Tan Malaka menyebutnya.
Jika presiden Jokowi dalam setahun sampai tiga kali berkunjung ke Papua, tentu ada masalah serius di negeri ini. Maka penerapan efisiensi di segala bidang, termasuk di bidang kesehatan, tentu targetnya kelak adalah pemerataan di segala bidang di seluruh pelosok negeri. Karena kita adalah satu nusa satu bangsa. Dengan kata-kata lugas kita bisa utarakan bahwa kita takkan bisa bermimpi menjadi kaya raya dari pekerjaan kita sebagai seorang dokter.
Pun takkan meraup keuntungan sebesar-besarnya saat membuka bisnis sebuah rumah sakit. Keduanya tak etis karena ada orang-orang sakit dan menderita terbaring tak berdaya di bawahnya. Maka sedari awal, cita-cita menjadi seorang dokter atau membuka rumah sakit, separuhnya adalah niat untuk melayani sesama. Jika ingin menjadi jutawan, dapat dipilih banyak cara yang proporsional. Kita bisa berbisnis properti, mobil mewah, barang antik atau industri teknologi dan sebagainya.
Dr Sutomo pernah berkata “Saya yakin bahwa nasib tanah air di masa depan, terletak di tangan kita sendiri”. Meski kata-kata ini sedemikian sederhana, ia menyimpan kekuatan yang begitu eksplosif. Ia dalam intuisi visionernya memberikan hak kepada siapa saja di antara kita untuk menggoreskan sejarah sebagai pemilik sah negeri ini. Betul tak ada lagi musuh kolonial yang perlu kita hadapi, namun sejarah dapat diukir dengan membela orang-orang lemah yang sakit dan menderita, sebagai dokter Indonesia pelayan rakyat. [T]