DI KAMAR BLUES MASIH MENGALUN
Dulu kita tak pernah percaya cinta
“Cinta taik kucing!” katamu sambil
mengacungkan botol bir ke langit
memaki dia yang telah pergi
Kini pun kita tak pernah percaya cinta
Tak percaya, sebab cinta bikin sakit saja
seperti tuhan yang Rendra tulis
dengan merdu dan syahdu penuh madu
Tuhan sudah mati!
Tuhan kita kini adalah tuhan dalam musik blues
tercipta dari kemiskinan dan luka
kaum papa kaum hina
Bunda Teresa ibu mereka
potretnya tergantung di hati mereka
Aku memahami luka itu
Kau memahami luka itu
Kita memahami luka itu
Luka jualah yang membuat
kita bertemu
Disini
Di kamar ini.
PASAR BADUNG
Berjalan di kota dini hari
aku melihat terang
penda-pendar cahaya
pasar cahaya
Ibu tua memanggul kenangan
teringat Dia di via dolorosa
wajahnya berisikan debu
juga lelah dan amarah
Aku menyaksikan itu
aku melihat semua
Ibu tua, pasar, kenangan,
lelah, amarah.
KOTA TANPA PURNAMA
kenangan itu datang lagi
mengajak kita mengenangnya
bukan hitam bukan putih
hanya kelam
kelam yang tak sungguh kelam
telah jauh setapak kita lewati
aku tak memungut sesuatu pun
sebab aku tahu itu akan lepas
genggamanku tak erat
malam ini tak ada purnama
mendung telah menelannya
seperti malam kemarin
hujan terus membasahi kota
kota tanpa purnama.
RADIO MERAH DARI IBU
Aku ingin mengenal dunia, berkata aku kepada ibu pada suatu pagi. Ibu tak menjawab, ia hanya menyuruhku mandi kemudian mengantarku ke toko kelontong di kota membelikanku radio kecil berwarna merah.
Aku gembira dengan mainan baruku. Dari dalam radio aku mendengar nama tuhan, terjang sepatu, rentetan tembakan kematian, sandiwara manusia.