Tiap kali saya diajak berbicara tentang sampah, membaca berita-berita yang mengulas sampah di media sosial, tau melihat langsung sampah di depan mata saya, terutama sampah plastik, maka ingatan saya akan terbang ke masa-masa saat saya menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem, dua tahun lalu, yang kemudian menjadi masa-masa yang sangat terkenang dan melekat di salah satu sudut ingatan saya.
Awalnya, saya merasa sangat senang ketika tahu bahwa kami semua ditempatkan di Desa Tulamben untuk melaksanakan KKN selama 45 hari ke depan, dari bulan akhir Juni, hingga awal Agustus 2017. Pikir saya, menjalani KKN di sebuah desa pariwisata dengan titik divingdan snorkeling yang terkenal di mata dunia tentu akan sangat menyenangkan. Saya juga sempat mencari-cari informasi di internet tentang desa tersebut dan dari sana akhirnya saya tahu bahwa Desa Tulamben memiliki suasana pantai dengan batu-batu koral yang membuat pantai Tulamben menjadi berbeda dengan pantai-pantai yang menjadi destinasi pariwisata di Bali. Karena itulah, saya akhirnya berpikir bahwa desa tersebut pastilah bersih dan tertata rapi, bebas dari sampah atau polusi lainnya. Saya lumayan berekspektasi tinggi waktu itu.
Namun, ketika saya mulai oberservasi tempat bersama teman-teman sesama KKN, ekspektasi saya jatuh seketika. Pesisir Pantai Tulamben saya lihat terisolir oleh beberapa sampah, khususnya sampah plastik. Bahkan sampah-sampah tersebut terlihat jelas di sepanjang jalan protokol kawasan pariwisata Tulamben hingga daerah-daerah bibir pantai yang bertepatan dengan tempat para wisatawan mempersiapkan diri untuk diving dan snorkeling. Belakangan saya tahu hal tersebut dikarenakan oleh melonjaknya jumlah wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan laut Tulamben.
Akhirnya KKN pun dimulai. Di minggu pertama, saya dan teman-teman belum menjalankan satu pun program yang kami canangkan, karena masih harus mengobservasi dan melakukan berbagai pendekatan dengan perangkat dan warga desa di sana. Nah, saat observasi itulah, saya bertemu dengan I Nyoman Suastika S.Or (42) atau akrab disapa Pak Suastika, kepala dusun Tulamben yang juga menjadi Ketua Organisasi Pemandu Selam Tulamben. Beliau bercerita banyak tentang permasalahan sampah yang ada, yang menurut penuturannya lebih parah 10 kali lipat dari apa yang saya temui saat observasi.
Desa Tulamben sendirinya dihuni oleh 2.613 kepala keluarga. Di sepanjang pantai Tulamben, terdapat 41 hotel yang mampu memperbaki masalah ekonomi sosial masyarakat di sana, seperti berkurangnya pengangguran. Namun, Desa Tulamben juga menghasilkan sampah yang cukup melimpah. Setiap keluarga di Desa Tulamben menghasilkan sampah sekitar 5 kg per hari. Sementara setiap hotel menghasilkan kira-kira 10 kg sampah per harinya. Jika dijumlahkan, Desa Tulamben mampu menghasilkan sampah sebanyak 13.615 kg per hari. Angka tersebut bisa dikatakan angka yang cukup besar. Jumlah sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan jumlah tempat sampah yang tersedia, ditambah dengan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Akibatnya, sampah dibuang begitu saja di sembarang tempat. Banyak terlihat sampah-sampah berserakan di pinggir jalan, ada juga beberapa titik tumpukan sampah tidak terurus. Selain di pinggir jalan raya, sering kali sampah-sampah tersebut juga terlihat tercecer di bibir pantai sehingga membuat keindahan pantai Tulamben berkurang, dan tak jarang sampah tersebut terseret ombak dan menyebabkan laut tercemar sampah. Hal tersebut dapat dilihat saat pembersihan pantai Tulamben pada tanggal 19 Februari 2017 dalam rangka memperingati Hari Sampah Nasional pada 21 Februari yang berhasil mengumpulkan 1,4 ton sampah anorganik seperti sampah plastik dan botol kaca.
Permasalahan sampah di Desa Tulamben sudah tentu menjadi permasalahan yang serius. Itulah yang kemudian mendorong Pak Suastika untuk mencari solusi. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat bank sampah sekaligus tempat penampungan sampah terpadu di tanah miliknya sendiri di Desa Tulamben. Bank sampah tersebut ia beri nama Bank Sampah Tulamben Bersehati. Beliau mengajak saya dan teman-teman KKN yang lain untuk melihat secara langsung bank sampah yang ia maksud. Saya dan teman-teman langsung mengiyakan.
Bank Sampah Tulamben Bersehati
Keesokan harinya, sekitar pukul 09.30 WITA, dengan menggunakan baju lapangan KKN dan training dan sepatu olahraga, saya dan teman-teman langsung menuju lokasi bank sampah yang ternyata terletak tidak jauh dari posko KKN. Di sana, saya dan teman-teman disambut hangat oleh Pak Suastika dan istrinya, Bu Luh Sumartini (42). Mereka berdua mengelola bank sampah tersebut sambil dibantu oleh beberapa warga. Setelah bertegur sapa sebentar, Pak Suastika kemudian mengajak saya dan teman-teman melihat sekeliling sambil menjelaskan segala maksud, tujuan, dan fungsi di bank sampah tersebut.
Menurut penuturannya, Bank sampah yang ia bangun merupakan sistem pengolahan sampah organik dan anorganik dan diharapkan mendorong masyarakat di Desa Tulamben untuk turut serta berperan aktif di dalamnya karena mereka juga merupakan salah satu produsen sampah yang ada di sana. Sistem bank sampah di Desa Tulamben secara umum memiliki 3 tahapan, yaitu menampung, memilah, dan menyalurkan sampah tersebut kepada pengepul.
Masyarakat menampung sampah mereka di bank sampah secara berkala. Ada yang menabung sampah dengan menggunakan kantong plastik besar, ada juga yang menggunakan karung plastik. Tahap menampung ini juga dapat disebut sebagai tahap menabung. Sama halnya seperti bank komersil pada umumnya, masyarakat dapat membuka rekening di bank sampah. Sampah yang ditabung akan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dicatat di dalam buku tabungan atau rekening yang juga diisi dengan nilai finansial sesuai dengan berat sampah yang ditabung. Nilai finasial yang diisi tentu saja disesuaikan terlebih dahulu dengan harga yang ditetapkan oleh pengepul sampah. Nilai finansial tersebut nantinya dapat ditarik dalam jangka waktu 6 bulan sekali, biasanya saat menjelang hari raya Galungan dan Kuningan. Sehingga nantinya masyarakat memiliki uang untuk persiapan hari raya. Lumayan, sekadar untuk beli daging babi ataupun sarana prasarana upakara, atau juga sebagai tunjangan hari raya alias THR.
Sampah yang sudah ditampung atau ditabung kemudian dipilah berdasarkan jenisnya, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dikumpukan langsung di satu tempat, sedangkan sampah anorganik dipilah lagi berdasarkan jenis yang berbeda, yaitu plastik, kaca, karet, logam dan kertas. Sampah yang sudah dipilah dan dikumpulkan selanjutnya disalurkan atau dibawa ke pengepul sampah. Pengepul sampah inilah yang nantinya akan membayar sampah masyarakat tersebut. Antusias masyarakat untuk mengikuti program Bank Sampah sangat besar, terlihat dari pagi hingga sore saya dan teman-teman di sana, masyarakat selalu aktif berdatangan dengan membawa sampah yang akan ditabung. Selain itu, anak-anak juga ikut menabung sampah.
Satu hal yang menarik di sini adalah adanya pegolahan akhir berupa pemanfaatan limbah sampah organik dan anorganik yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK Desa Tulamben. Pemanfaatan limbah organik tersebut berupa dedaunan, ranting-ranting pohon, serta buah dan sayuran yang sudah menjadi limbah rumah tangga akan diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan sampah non-organik seperti gelas plastik, koran bekas dan kaleng yang tidak disalurkan kepada pengepul, akan dijadikan sebagai kerajinan tangan seperti tas dan miniatur. Kerajinan tersebut nantinya akan dijual di pos Organisasi Pemandu Selam Tulamben yang ada di desa.
Keberadaan bank sampah inilah yang kemudian meminimalisir jumlah sampah yang ada di Desa Tulamben, terutama di sekitaran titik utama pariwisatanya. Pak Suastika menuturkan, adanya bank sampah di Desa Tulamben memberikan pengaruh postif terhadap sampah-sampah di sekitar desa tersebut. Masyarakat secara sadar memungut sampah-sampah yang berserakan di sekitar pantai dan jalan raya kawasan pariwisata Desa Tulamben untuk kemudian ditabung di bank sampah. Harapan ke depan tentu adanya Bank Sampah Tulamben Bersehati mampu mengurangi volume sampah secara maksimal dan mampu menambah penghasilan masyarakat.
Komunitas Rare Segara Tulamben
Sesudah melihat-lihat bank sampah, bertegur sapa dengan beberapa warga yang membantu di sana, juga mendengar penjelasan yang cukup detail dari Pak Suastika, saya dan teman-teman kemudian diajak untuk melakukan pembersihan di sepanjang jalan menuju titik utama pariwisata Desa Tulamben. Katanya, pembersihan akan dilakukan di hari Minggu sekitar pukul 07.00 WITA. Saya dan teman-teman lagi-lagi langsung mengiyakan. Kebetulan, saya dan teman-teman memang berencana mengisi hari Minggu pertama di masa KKN dengan melakukan pembersihan.
Hari Minggu pertama di masa KKN pun tiba, pagi-pagi saya dan teman-teman sudah mandi dan sudah rapi. Dengan menggunakan baju kaos dan celana training, sambil masing-masing membawa polybag besar berwarna hitam, saya dan teman-teman langsung menuju ke titik utama pariwisata Desa Tulamben. Pak Suastika sebelumnya meminta kami menunggu di sana. Namun, meski waktu sudah menunjukan pukul 07.10 WITA, tidak ada tanda-tanda Pak Suastika sudah berada di lokasi. Sampai akhirnya dari balik gang depan titik utama pariwisata Desa Tulamben, Pak Suastika muncul bersama rombongan anak-anak yang membawa polybag hitam besar sama seperti yang saya dan teman-teman saya bawa. Anak-anak tersebut juga akan melakukan pembersihan dengan dipandu oleh Pak Suastika sendiri.
Pembersihan yang saya dan teman-teman lakukan, juga Pak Suastika dan rombongan anak-anak yang ia pandu, baru selesai sekitar pukul 09.00 WITA. Tak terasa sekitar 2 jam waktu sudah berlalu. Mungkin karena pembersihan yang dilakukan dibarengi dengan bercandaan dan guyonan anak muda jaman sekarang. Tak sedikit juga dari rombongan anak-anak yang tertawa terpingkal-pingkal. Dari 2 jam pembersihan itu juga, setiap polybag hitam besar yang dibawa sudah penuh dengan sampah anorganik. Kami semua berkumpul di kantor desa untuk beristirahat sejenak sambil memperkenalkan diri masing-masing. yang pertama memperkenalkan diri adalah saya dan teman-teman saya sendiri. Anak-anak tersebut memilih untuk menjadi yang kedua dengan alasan masih malu. Tidak masalah bagi saya entah menjadi yang pertama atau yang kedua.
Setelah saya dan teman-teman memperkenalkan diri, tibalah giliran mereka. Nah, saat mereka memperkenalkan diri, barulah di sana saya tahu, rombongan anak-anak tersebut adalah rombongan Komunitas Rare Segara Tulamben. Komunitas Rare Segara Tulamben, kata mereka, dibentuk dengan tujuan untuk menyelamatkan keindahan potensi pariwisata Desa Tulamben dari timbunan sampah pariwisata, terutama sampah anorganik. Kemunitas mereka ternyata belum lama terbentuk, baru sekitar 3 bulan sebelum saya dan teman-teman memulai KKN di Desa Tulamben, meski begitu komunitas mereka ternyata sudah terkenal sampai ke luar desa karena komunitas mereka berkontribusi nyata untuk mengubah kawasan pariwisata Tulamben menjadi bersih dan indah.
Pembentukan Komunitas Rare Segara Tulamben ini ternyata diprakasai oleh Pak Suastika dengan harapan anak-anak di Desa Tulamben memiliki kesadaran secara penuh bahwa sampah dapat mencemari lingkungan tempat tinggal mereka. Tentu akan sangat merugikan jika sampah tersebut menumpuk di desa mereka sendiri, meningat desa mereka adalah tujuan wisata yang membawa penghidupan bagi sebagian besar masyarakat. Di samping itu, sampah juga berpotensi untuk mencemari laut mereka, merusak kekayaan alam yang ada dan tentu saja potensi laut mereka tidak akan diminati lagi. Maka dari itu, ia mengajak anak-anak untuk membersihkan lingkungan sekitar mereka, terutama lingkungan pantai.
Rare Segara Tulamben beranggotakan anak-anak yang berusia 7 sampai dengan 13 tahun, mereka terbiasa bangun pagi di hari minggu, selanjutnya menyisir pantai di sekitar daerah mereka. Pak Suastika menuturkan, alasan mengapa anak-anak menjadi fokus pergerakan adalah dikarenakan anak-anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh sebab itu anak-anak harus dilatihkan sejak dini untuk mencintai lingkungan. Sehingga kelak dewasa nanti akan menjadi motor pergerakan-pergerakan untuk kepentingan berbangsa dan bernegara. Lewat pergerakan itu akan tercapai tujuan yang dirumuskan dalam SDGs nomor 14 dan 15 yaitu mengenai kehidupan bawah laut dan kehidupan darat yang nantinya akan berimbas kepada tujuan nomor 1 yaitu pemberantasan kemiskinan. Mantap sekali, Pak.
Nama komunitas mereka sendiri sudah menandakan hal yang harus dilakukan. Rare berarti anak, sementara Segara berarti laut. Rare Segara memiliki arti Anak-Anak Laut. Di tangan merekalah laut di Desa Tulamben akan dititipkan untuk senantiasa dijaga dari limbah sampah yang mengancam keasriannya. Sampah-sampah yang mereka kumpulkan akan dibawa ke Bank Sampah Tulamben Bersehati untuk ditabung. Mereka semua memiliki rekening mereka masing-masing. Ada juga yang rekeningnya jadi satu dengan orang tuanya.
Saya dan teman-teman tentu saja mendukung apa yang mereka lakukan. Saya memberikan beberapa motivasi dan bercerita sedikit tentang dampak sampah terhadap lingkungan mereka, tentu saja dengan pendekatan yang asik dan lucu. Setelah itu polybag hitam besar yang sudah penuh dengan sampah dibawa ke Bank Sampah Tulamben Bersehati yang jaraknya sangat dekat dengan kantor desa dekat kami berkumpul. Setelah itu mereka pulang ke rumah mereka masing-masing. Saya dan teman-teman kembali ke posko KKN. Sebelumnya kami sudah berjanji untuk kembali melakukan pembersihan di hari Minggu selanjutnya.
Akhirnya di masa KKN, saya sadar bahwa melaksanakan KKN bukanlah perkara tempat, tapi perkara apa yang bisa kita petik dan apa yang bisa kita pelajari di sana. Komunitas Rare Segara Tulamben dan Bank Sampah Tulamben Bersehati adalah satu paket inovasi yang diprakasai oleh Pak Suastika dan terbukti mampu meminimalisir produksi sampah di Desa Tulamben. Keduanya punya ruang lingkupnya masing-masing. Komunitas Rare Segara Tulamben melakukan pembersihan dengan cara turun ke jalan, sementara Bank Sampah Tulamben Bersehati mengolah sampah yang diproduksi oleh rumah tangga, hotel, villa, dan restoran yang ada di kawasan pariwisata Desa Tulamben. Mengingat sampah merupakan permasalahan global yang perlu untuk segera ditindaklanjuti, solusi-solusi yang menyasar masyarakat sebagai roda penggerak adalah solusi yang sangat positif. Seperti Komunitas Rare Segara Tulamben dan Bank Sampah Tulamben Bersehati di atas. [T]