KITA di Bali memang sering mendengar istilah-istilah yang berkaitan dengan aktivitas gunung berapi. Tapi yang biasa didengar, misalnya ketika ada berita gunung meletus di luar Bali, adalah istilah-istilah umum, seperti erupsi, lahar, dan magma. Atau istilah yang amat lokal semisal hujan abu, hujan batu dan gempa.
Terus terang, ketika Gunung Agung beraktivitas, keinginantahuan kita menjadi makin besar terhadap istilah-istilah kegunungapian. Apalagi, proses erupsi Gunung Agung cukup lama, dan dalam waktu yang cukup lama itu kita kerap mendengar munculnya istilah-istilah yang mungkin baru pertama kali kita dengar.
Gunung Agung memberi kuliah atau pelajaran bagi kita untuk belajar mengenal istilah sekaligus belajar tentang kegunungapian agar kita selalu waspada dan tahu apa yang harus diperbuat.
Hujan Lapili
Yang paling baru kita dengar dan baca dari media massa adalah istilah Hujan Lapili. Menurut berita, sejumlah wilayah yang dekat dengan Gunung Agung sudah dilanda hujan lapili, semisal wilayah Desa Ban Karangasem. Hujan itu terjadi saat erupsi Gunung Agung, Sabtu sekitar pukul 07.50 WITA.
Dikutip dari sejumlah media, Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, dalam bahasa vulkanologi, lapili atau lapillus disebut juga tefrit atau material yang jatuh dari udara selama selama letusan gunung berapi dengan diameter rata-rata dua hingga 64 milimeter (mm). Hujan lapili sifatnya tidak merusak.
Menurut Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur, Devy Kamil Syahbana, bulatan-bulatan kecil abu vulkanis ini bisa terbentuk di kolom erupsi karena kondisi kelembaban dan gaya elektrostatis. Kondisi ini terjadi saat material abu berinteraksi dengan air, termasuk air kawah.
Hujan lapili kerap diasosiasikan dengan letusan freatomagnetik sebuah gunung berapi. Tapi, kelembaban ini juga bisa bersumber pada kondisi meteorologis, misalnya abu yang disemburkan berinteraksi dengan awan hujan. Ketika semua kondisi itu telah terpenuhi, maka kumpulan abu vulkanis tadi berubah bentuk menjadi bulatan-bulatan.
Erupsi Freatik
Istilah yang juga baru didengar adalah erupsi freatik. Istilah ini keluar pada saat Gunung Agung diberitakan meletus Selasa (21/11) pukul 17.05 Wita.
Saat itu, Pusat Vulkanologi dan Badan Mitigasi Geologi (PVMBG), jenis letusan yang terjadi adalah tipe freatik. Di rilis PVMBG dan BNPB dijelaskan letusan ini berbeda dengan letusan magmatik.
Letusan freatik terjadi akibat adanya uap air bertekanan tinggi. Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah kemudian kontak langsung dengan magma. Letusan freatik disertai dengan asap, abu dan material yang ada di dalam kawah.
Letusan freatik sulit diprediksi. Bisa terjadi tiba-tiba dan seringkali tidak ada tanda-tanda adanya peningkatan kegempaan. Beberapa kali gunungapi di Indonesia meletus freatik saat status gunungapi tersebut Waspada (level 2) seperti letusan Gunung Dempo, Gunung Dieng, Gunung Marapi, Gunung Gamalama, Gunung Merapi dan lainnya.
Tinggi letusan freaktik juga bervariasi, bahkan bisa mencapai 3.000 meter tergantung dari kekuatan uap airnya. Jadi letusan freatik gunungapi bukan sesuatu yang aneh jika status gunungapi tersebut di atas normal. Biasanya dampak letusan adalah hujan abu, pasir atau kerikil di sekitar gunung.
“Memang letusan freatik tidak terlalu membahayakan dibandingkan letusan magmatik. Letusan freatik dapat berdiri sendiri tanpa erupsi magmatik. Namun letusan freatik bisa juga menjadi peristiwa yang mengawali episode letusan sebuah gunungapi,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
Apa bedanya dengan letusan magmatik?
Letusan magmatik adalah letusan yang disebabkan oleh magma dalam gunungapi. Letusan magmatik ada tanda-tandanya, terukur dan bisa dipelajari ketika akan meletus.
Tremor Non Harmonik
Saat Gunung Agung mulai beraktivitas, sekitar September 2017 warga cukup sering mengalami gempa. Mereka menyebutkan gempa, karena ciri-cirinya sama dengan gempa pada umum. Namun dari berita-berita di media massa kemudian diketahui adanya istilah gempa tremor.
Dari penelusuran di internet diperoleh defisinisi gempa tremor adalah getaran yang terjadi akibat bergeraknya sebuah patahan sedikit demi sedikit. Pada umumnya getaran ini tidak mengakibatkan adanya gerakan yang mendadak, namun tetap membuat bumi bergetar.
Lalu ada istilah Tremor Non Harmonik. Istilah ini cukup sering ditulis di media massa, terutama sekitar September-Oktober ketika Gunung Agung berstatus waspada dan siaga, juga saat berstatus awas.
Dalam sebuah berita di media online, Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana saat itu mengatakan tremor non-harmonik adalah rentetan beberapa gempa vulkanik di mana satu gempa muncul hampir bersamaan dengan gempa lainnya yang belum selesai.
Tremor non-harmonik tersebut secara fisik merefleksikan aliran fluida magmatik yang terdiri dari gas, zat cair dan zat padat. Tidak semua tremor diikuti oleh letusan atau erupsi.
Jika ada tremor non harmonic, tentu ada tremor harmonik. Dijelaskan, tremor harmonik yang terjadi jika aliran fluida magma mengakibatkan bergeraknya conduit atau rongga seperti pipa dan membuat efek resonansi. Tremor harmonik juga tidak selalu diikuti oleh erupsi.
Tentang Lahar yang Cukup Membingungkan
Ketika terjadi air bah dengan warna coklat dan kental di sejumlah sungai, seperti Tukad Unda, Klungkung dan sungai lain di wilayah Karangasem, warga menyebut material yang mengalir itu adalah lahar dingin. Namun kemudian ada menyebut itu bukan lahar dingin, tapi air bercampur abu bekas letusan.
Media sosial pun sempat gaduh karena ternyata air yang bercampur material vukanik bekas letusan itu, termasuk abu vulkanik, itulah yang disebut lahar dingin. Perdebatan di dunia maya sempat berlangsung panjang, bahkan dengan nada-nada saling ejek.
Dari situs ilmugeografi.com dikutip sejumlah penjelasan:.
Lahar Panas adalah lahar yang mengalir tepat saat terjadi letusan gunung api disebut lahar panas. Lahar panas dikenal juga dengan istilah lahar letusan. Lahar tersebut berupa aliran air panas yang tercampur dengan material vulkanik yang dilontarkan dari kepundan gunung. Lahar panas hanya terjadi pada gunung api yang memiliki danau.
Danau gunung api itulah yang sering disebut danau kawah atau kepundan. Suhu dari lahar panas tidak lebih dari titik didih air sehingga tidak meleburkan makhluk hidup yang dilewatinya, meski demikian aliran lahar panas tetap berbahaya. Suhu lahar panas dipengaruhi oleh proses pemanasan air di danah kawah oleh magma di dalam lapisan kulit bumi.
Lahar dingin yaitu aliran air dingin yang tercampur dengan material vulkanik yang terjadi karena hujan lebat setelah gunung api meletus. Lahar dingin disebut juga lahar hujan. Temperatur lahar jenis ini sama dengan temperatur lingkungan di sekelilingnya. Lahar dingin menyebabkan terjadinya proses sedimentasi batuan breksi. Batu breksi tersebut memiliki fragmen atau tekstur subrounded karena terkena derasnya aliran air.
Karena mengalir bersama derasnya air hujan, lahar dingin ini dapat menyebabkan terjadinya bencana banjir lahar. Banjir lahar dingin bisa juga disebut banjir bandang karena mengalirkan material vulkanik berupa lumpur di lereng gunung. Banjir ini disebabkan karena sungai tidak lagi mampu menahan aliran lahar. Kecepatan aliran air yang sangat tinggi hingga mencapai 100 meter per jam..
Lahar Letusan dan Lahar Hujan
Di tengah perdebatan dan ribut soal apakah yang mengalir di Tukad Unda dan tukad lain itu lahar dingin atau air biasa yang bercampur abu (pedebatan yang cukup lucu), ahli vulkanologi Surono dalam sebuah media online, kumparan.com, menjelaskan adanya salah kaprah dalam penyebutan istilah lahar.
Mbah Rono, sapaan akrab Surono, mengatakan bahwa tidak ada istilah lahar panas maupun lahar dingin. Lahar sendiri adalah aliran material vulkanik yang biasanya berupa campuran batu, pasir dan kerikil akibat adanya aliran air yang terjadi di lereng gunung-gunung berapi. Menurutnya, dalam istilah ilmiah, lahar itu hanya ada dua. Lahar letusan dan lahar hujan.
Mantan Kepala Badan Geologi dan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) itu menjelaskan, lahar letusan adalah lahar campuran antara material padat dan cari yang keluar dari suatu gunung berapi.
“Misalnya gunung api mempunyai kawah, kawahnya berisi air, seperti Kelud. Begitu meletus, airnya terangkat, terlontarkan bercampur dengan material. Terus kemudian tersebar ke semua arah. Itu namanya lahar letusan. Lahar letusan pasti panas,” papar Mbah Rono.
Adapun lahar hujan adalah campuran antara material letusan gunung api, seperti kerikil, kerakal halus, hingga batu-batuan besar ataupun endapan awan panas, dengan air hujan yang kemudian mengalir bergerak mengikuti lereng.
“Itu namanya lahar hujan. Lahar hujan itu bisa panas kalau yang tercampur dengan air hujan adalah endapan awan panas,” jelas Mbah Rono.
“Lahar hujan menjadi dingin kalau endapan yang menjadi lahar yang bercampur dengan air hujan itu bukan endapan awan panas,” imbuhnya lagi. (T)
Catatan: tulisan ini, termasuk narasumbernya, dirangkum dari kutipan-kutipan di berbagai media