MEMENTASKAN monolog bisa dibilang mudah mudah susah. Pentas Monolog bisa disutradarai dan diperankan sendiri oleh aktor. Artinya, seorang aktor bisa merangkap menjadi seorang sutradara. Pentas monolog bisa juga menyusahkan, dikarenakan menguras energi dan pikiran.
Aku pertamakali mengenal monolog pada Sekolah Menengah Atas (SMA). Seseorang itu, kakak kelas yang telah kukenal, ia melakukan pentas di halaman tengah. Ia ngobrol sendiri, berteriak-teriak, dan menimpali dialognya sendiri. Tanpa teman, sendirian. “Gila,” kataku dalam hati waktu itu.
Murid-murid yang lewat cuek saja, mereka lebih memilih pulang dari pada menyaksikan seeorang yang tidak jelas, tak dikenal dibawah terik matahari. Aku yang justru semakin penasaran, kemudian mendekat dan menyaksikan dari dekat. Setelah selesai, ia ternyata sedang bermonolog dengan tujuan merekrut anggota teater. Itulah gambaran awal bagaimana aku mengenal monolog.
PERKENALAN DENGAN NASKAH “BUKU”
Monolog “Buku” sangat menarik ketika pertama kali aku membacanya pada pertengahan Agustus lalu. Disadari atau tidak, aku larut dalam naskah. Aku merasa bahwa aku adalah tokoh dalam naskah monolog “Buku”.
Sebagaimana dalam membaca karya apapun, kita tak pernah lepas dari belenggu romanisme. Kita selalu ingin, begitu ingin menempatkan diri pada sebuah karya (cerita) sebagai tokoh. Kita selalu ingin mencari padanan peristiwa yang serupa dalam hidup. Seolah kita ingin menguang, mempraktikkan apa yang telah kita baca.
Naskah awal diawali dengan sebuah kalimat “Seorang Profesor berbaring di atas tumpukan buku atau buku raksasa. Sebagai pecandu surealisme, mungkin itulah yang membuatku tertarik dengan naskah tersebut. Surealisme selalu menyajikan hal-halyang tak terduga.
Selanjutnya, ada yang membuatku lebih kagum lagi, dan mengumat kagum, “Dalam detik-detik yang berat ini, yang menjadi laporan batinku bukannya rencana pertemuanku dengan Tuhan, tetapi bagaimana menyelamatkan buku-bukuku itu. . . .”.Dalam hati, aku berkata “Keren, Eksistensi nih”. Sebagaimana film-film Sci-Fi barat yang bertemakan eksistensi, yang tidak mengakui adanya Tuhan. Heuheu
Kemudian kami (Komunitas Puntung Rokok) membedah naskah tersebut, untuk sekedar mendapat apa pesan yang ingin disampaikan, bagaimana mementaskan dan lain-lain. Kemudian, Aku mengajukan diri sebagai aktor dan diberi kebebasan memilih sutradara. Sutradara dalam pementasan monolog “Buku” adalah Dany Mahatma Gandhi. Ia pernah sebagai aktor dalam pentas monolog “Nol” pada bulan Maret lalu.
Yang aku dasarkan mengapa aku melilihnya dan kupercaya sebagai sutradara adalah didasarkan pengalaman dan ilmu serta kemauan untuk terus belajar dan berkarya. Ia pernah bilang, “ibaratkan naskah ini kekasihmu, ajak bermain, ajak tidur, kalau perlu cumbui naskah tersebut, kau akan lebih dapat mendalami peran.
Saat bedah naskah, monolog “Buku” seperti semacam cerpen, atau seperti “Story Telling” yang dibawakan oleh profesor (aktor), yang bercerita tentang dirinya sendiri di masa lalu. Ia bercerita tantang masalalunya sebagai kutu buku yang kemudian mengidap sakit yang tak kunjung sembuh. Pertentangan dengan keluarga kecilnya, kehendak istri yang memaksa profesor menjadi seorang pedagang. Anaknya yang tak mau membaca sekalipun telah didera dengan kejam. Namun, setelah buku-buku itu dijual habis, justru profesor sembuh.
Naskah “Buku” menyajikan sebuah realitas yang tak semua orang mengalaminya. Tapi bisa saja, pengalaman dengan buku, meski tidak sama persis dengan apa yang dialami profesor bisa menjadi memorabilia bagi seseorang. Setiap orang, semasa hidupnya, tentu tak pernah lepas dari membaca, dari “buku”, terlebih orang yang dekat dengan dunia akademisi. Buku menjadi produk segar dari budaya populer yang merambahi hidup setiap orang. Ada yang menganggap penting dan memuja, ada yang acuh tak acuh, ada yang setengah-setengah.
Dalam pemahaman kami, naskah “Buku” merupakan sebuah naskah yang satire. Bahasa yang satire mudah kita temui di manapun. Menyindir, Mengolok-olok, konyol, melecehkan, menertawakan kebodohan dan sifat-sifat apa saja. Tentu saja tujuannya untuk mendobrak sesuatu.
Rasa dongkol profesor terhadap buku diucapkan dengan kalimat-kalimat sindiran yang kasar. Buku semakin tenggelam, tidak diminati, kalah dengan ilmu dagang. Misalnya dalam kalimat ini “Kalau tidak kudidik jadi kutu buku, tetapi dididik untuk mempelajari kiat-kiat dagang, kita sekarang sudah punya pekerjaan. Buku membuat kita jadi pendeta gaek yang loyo, letoi dan memble, lebai dan bete! Takut pegang duit. Akibatnya orang lain kaya, kita mampus. ……”
Sebagaimana dikutip dalam wawancara tirto.id dengan Putu Wijaya, naskah beliau menjadi semacam “teror mental”. Beliau mengatakan “Walau sudah merdeka, konsep kolonialismean masih ada. Kita masih menunggu sehingga butuh terapi. Merdeka itu bukan kamu bebas dan nunggu diurus, tapi kamu harus bisa berbuat. Juga harus bisa melihat kemerdekaan orang lain. Kalau mengganggu kemerdekaan orang lain, ya kamu kena penalti”.
Sebuah gambaran klasik tentang konsep “Teror Mental” sangat jelas dalam naskah Buku. Katakanlah si profesor, yang hidupnya sudah terjamin dengan gaji dan tunjangan malah sakit gara-gara buku. Hal ini adalah sindiran, bahwa buku di Indonesia tergolong mahal. Sampai profesor pun jatuh miskin (hanya) karena gara-gara buku. Heuheu. Di akhir adegan, Si profesor asik membaca e-book lewat layar smartphone. Di tengah mahalnya harga buku, orang lebih memilih apa apa yang lebih murah, sekalipun tak berjiwa. Bagi kami, e-book dan buku sangat berbeda. Buku beraroma, e-book tidak.
Selain itu, kehadiran seorang lurah yang membeli buku Machiavelli milik Profesor adalah gambaran bagaimana bahaya orang yang hanya baca satu buku. Kita semua tahu bahwa buku Machiavelli (IL PRINCIPE) adalah buku panduan untuk diktaktor. Politik licik. Setelah mendapatkan buku tersebut, pak lurah jadi tahu bagaimana caranya memimpin dan mengendalikan warga desa (ada dalam naskah). dan kemudian pak lurah menjadi pmimpin yang sangat disegani dan kaya raya.
Ada banyak sisi yang bisa dikupas di naskah monolog buku. Tergantung pemaknaan. Bagi kami, naskah “Buku” mengajak kita untuk membaca buku sampai selesai alias tidak setengah-setengah. pun, dengan perkembangan teknologi, katakanlah smartphone, buku dapat dibaca dengan mudah dan praktis.
PROSES KREATIF
Menyusun konsep pementasan memang suatu yang harus ada dalam setiap proses kreatif. Naskah yang telah terbedah memberi ruang untuk merumuskan sebuah konsep pementasan. Sebisa mungkin, pementasan dapat ditangkap oleh penonton dari berbagai kalangan, baik penikmat seni pertunjukan atau orang yang hanya sekedar menonton. Kami tidak mau ketika orang-orang selesai menyaksikan pertunjukan, ketika pulang tak memberi kesan apapun.
“Naskah menentukan bagaimana pementasan dilakukan. Tapi, jika naskah dan segala petunjuk yang ada didalamnya tak memberi rasa nyaman bagi sutradara, aktor, serta kru, pementasan tak akan memberi rasa apapun pada penonton.”
Dengan prinsip tersebut, kami mulai mengobrak-abrik naskah. Sebab pementasan akan monoton jika tetap mengikuti naskah. Sebagaimana telah dijelaksan diatas, naskah seperti story telling, sebuh juru cerita yang menceritakan masa lalunya. Sebuah cerita dari mulut, yang kemudian didengar lewat telinga hanya bisa dibayangkan. Penonton hanya membayangkan.
Kita belajar dari film, katakanlah sebuah film yang diadaptasi dari novel, dengan kerja cinematografi yang sedemikian ciamik membuat orang-orang terkesima. Film bisa membuat orang-orang takjub. Apa yang ia baca, yang ternyata difilmkan menjadi sebuah gambar yang sedemikian memesona. Ada hal-hal tak terduga, yang tak pernah terfikirkan oleh kita. Kami merombak naskah tanpa mengubah esensi. Mengubah menjadi beberapa adegan.
Adegan pertama, tetap berpedoman pada naskah, dengan seorang juru cerita (aktor) yang bercerita tentang dirinya sendiri, tentang rasa dongkolnya pada buku, serta rasa kecewa yang bermuara dalam hati.
Adegan kedua, berganti latar. Di sini kami menghadirkan sebuah perfomence art yang menggambarkan bagaimana masalalu profesor sebagai penggila buku. Rasa candu terhadap buku kami ibaratkan seperti orang yang candu pada narkoba (Shabu). Sebab, aroma buku begitu khas pada kali pertama dibuka.
Namun si aktor (Profesor) tak pernah membaca sampai habis, begitu ada buku baru, ia selalu ingin dan ingin. Lalu si Profesor kehilangan satu persatu buku. Ia menjadi sedih. Ia kemudian menemukan sebuah buku, yang hanya satu, ia kemudian membaca dan terus membaca (namun serupa orang lagi nyabu), kemudian bosan.
Kerena tak ada buku, ia menjadi sakau. Ia mencari buku yang hanya sisa satu, karena takut kehilangan, ia menuliskan seluruh isi buku pada badannya tanpa sadar. Serupa orang sakau narkoba yang melukai bagian tubuhnya.
Adegan tiga, adalah adegan di mana si profesor jatuh sakit, ia membantah istrnya, ia tak rela buku-bukunya dijual untuk membiayai pengobatannya. Namun, si profesor yang sekarat tapi bisa mengelak dari takdir. Ia sakit, tapi tak bisa berkehendak apapun selain teriak-teriak penuh kekesalan. Kehadiran istri yang menginginkan suaminya berhenti menjadi kutu buku justru menambah kekesalan dan kemarahannya. Dan kemudian ia tahu bahwa di dalam perpustakaan buku-buku sudah banyak yang terjual. Ia menjadi histeris dan tambah sekarat.
Adegan empat, kembali pada juru cerita (aktor), dengan latar yang sama seperti adegan pertama.
Pementasan monolog “Buku” adalah serangkaian dari Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya yang digarap oleh Komunitas Puntung Rokok. Bisa disaksikan pada tanggal 12 November 2017, pukul 19.00 WITA (kalau nggak ngaret) di besement Fakultas Bahasa dan Seni (Kampus Bawah). Salam Budaya. (T)