Cerpen: Komang Astiari
APAKAH kiamat itu benar benar nyata? Jika iya jawabnya,maka bagaimana engkau melukiskannya?
Barangkali kemunculan kiamat itu bak tsunami yang meluluhlantakkan bumi dan seluruh isinya. Atau barangkali adalah ketika etika yang mulai luntur dalam lukisan kehidupan?
***
Bujo, begitu dia dipanggil. Bujo si pemburu kiamat, sedari kecil tak henti-henti bertanya tentang kiamat. Lelaki 35 tahun ini paling rajin mengikuti berita tentang akhir dunia. Pertanyaan demi pertanyaan terangkai dalam setiap hembusan angin, seolah angin tidak memberikannya waktu sedetikpun untuk lari.
Jika para remaja itu gemar mencari kesenangan duniawi, Bujo justru lebih menyenangi menyelam ke dasar hati yang paling dalam, merenung lalu menghitung-hitung dosa yang sudah dia buat, mencari-cari kesalahannya semasa hidup lalu dia akan membiarkan pikirannya hanyut bersama derasnya rasa sunyi yang tiada henti. Memberi hukuman bagi dirinya sendiri atas tuduhan ketidakmampuan membahagiakan dirinya sendiri. Hatinya.
Bujo berperawakan tinggi, berkulit putih bersih dan berkacamata. Rambutnya ikal selalu dipotong rapi. Cara bicaranya sopan dan lembut. Sekilas saat kau melihatnya, dalam hitungan detik engkau akan terpesona akan daya tariknya.
Wanita lebih suka lelaki cool dan itu kau temukan dalam dirinya. Ibarat indahnya lautan dari kejauhan, begitulah wanita memandang Bujo. Mereka berusaha menarik perhatian Bujo. Tapi ketika hubungan itu berhasil dijalin, itu tidak akan bertahan lama. Dasar laut terlalu rumit, terlalu banyak hal yang menyakitkan, misterius.
Begitulah Bujo dengan segala kegundahannya. Pengertiannya tentang hidup, tentang Tuhan, tentang masa depan. Para wanita sulit memahami jalan pikiran Bujo. Satu persatu menjauh, dan kini tinggallah Bujo yang masih bujang di usianya yang ke-35 tahun yang telah memutuskan untuk menikah dengan kegundahan.
***
Suatu hari, media marak memberitakan dunia akan kiamat, para pemuka agama berlomba memberikan dakwah menyejukkan sebagai persiapan menuju Rumah Tuhan.
Bujo menyambut berita tentang kiamat itu dengan hati was was dan tidak yakin. Jika benar hari itu akan segera berakhir, bagaimana dia menghabiskan waktunya untuk menikmati hidup walau sedetik saja. Semasa hidup kebahagiaan itu terasa jauh. Sangat jauh. Segudang pertanyaan tidak berhasil dijawab. Karenanya Bujo ingin untuk sekali ini saja sebelum dia berangkat ke rumah Tuhan, semesta mengabulkan satu doanya. Dia mau bahagia.itu saja.
Tenda di puncak Gunung Semeru telah berdiri kokoh. Bujo memutuskan untuk mati di sana saja, di mana kesunyian benar-benar nyata. Tanpa ponsel. Tanpa teman. Tanpa kekasih apalagi keluarga. Tidak akan ada lagi yang saling merindukan, pikirnya.
Semua orang akan berangkat ke atas langit bersama malaikat secara bersama-sama. Semua orang akan mati. Dengan cara yang halal, dipanggil oleh Tuhan. Malang si Bujo, di hari ketika dia berkemah di puncak Gunung Semeru, tidak ada tanda-tanda kiamat. Langit justru begitu indah malam itu, terlalu indah untuk dilewatkan bahkan untuk satu kali kedipan mata.
Keindahan itu sampai terbawa-bawa mimpi, membuatnya terlena, hingga esok pagi Bujo bangun dalam kondisi sehat. Barangkali Tuhan belum siap, pikirnya. Matahari bersinar cerah pagi ini. Hangat tidak seperti biasanya. Namun masih terasa dingin di ruang hatinya, bahkan ruang itu terlalu besar.
Tergopoh gopoh turun gunung seorang diri, Bujo kecewa. Kiamat yang dinantikannya tak kunjung datang.
Apakah kiamat itu diawali dari kehancuran sebuah bangsa, lalu bangsa lain akan mengikuti, dan begitu seterusnya? Begitu tanyanya pada langit, pada tetesan embun di ranting pohon. Bujo terduduk karena lelah hati dan lelah fisik. Kehancuran yang seperti apa?
***
Bujo dibesarkan oleh seorang pembantu yang tidak tamat SD, Mbak Idah. Ibunya, seorang wanita karir berusia 55 tahun yang masih terlihat cantik. Si ibu adalah pengusaha sukses yang terkenal dengan kegigihan serta etos kerja yang sangat tinggi. Baginya hidup adalah bekerja dan bekerja membuatnya hidup.
Yang terekam dalam memori Bujo tentang sosok ibunya adalah sikapnya yang dingin, setidaknya saat memperlakukannya. Ibu jarang mengajaknya bicara dari hati ke hati. Bahkan mungkin tidak pernah. Masih lekat di ingatan ketika Bujo berusia 16 tahun, usia paling rentan dan labil.
Di pagi hari ketika Bujo membuka mata, sosok yang selalu hadir biasanya Mbak Idah, menyapa, “Mau makan apa Jo?”
“Ibu mana?”
“Ibu sudah berangkat subuh tadi,”
“Ke mana?”
“Mbak lupa, yang Mbak ingat katanya Nyonya naik pesawat terbang, kembali tiga hari lagi. Mbak dititipin ini sama Ibu,” ucap Mbak Idah sambil menyodorkan amplop berisi uang saku yang cukup dipakai buat tiga hari.
“Uangku masih banyak, buat Mbak saja,” ucap Bujo sambil tenggelam kembali ke pelukan hangatnya selimut. “Kecilkan suhu AC-nya, Mbak,”
“Jangan, nanti Bujo sakit.”
“Nggak apa Mbak, aku mau tidur seharian. Bolos saja.”
Mbak Idah tidak bisa berkata hanya mendesah prihatin. Dia bisa merasakan betapa kesepiannya anak seusia Bujo. Mendambakan sosok orangtua yang tidak kunjung datang.
Air mata Bujo jatuh lagi, berlomba-lomba untuk menarik perhatian rasa sedih agar menguasai Bujo, sesaat ketika Mbak Idah menutup pintu kamar. Ayah sudah lama meninggalkan Ibu. Alasannya sederhana, Ayah jatuh cinta lagi. Pada wanita lain.
Lalu wanita itu hamil dan mereka menikah, menyambut hari baru bersama, bersama bahagianya yang baru, meninggalkan Bujo dengan sekelumit pertanyaan. Sendirian.
Ayah Ibu sudah tidak saling mencintai lagi, setidaknya hanya jawaban itu yang dia simpulkan dari kejadian itu. Namun hingga kini Bujo belum paham apakah cinta itu. Apakah memang benar datangnya bagai kecepatan cahaya. Jika iya, bukankah kehadiran cahaya tidak pernah abadi? Saatnya tiba dia akan hilang. Manusia mungkin terlalu bodoh mengikat diri satu sama lain untuk saling mencintai pada akhirnya mereka akan tahu bahwa rasa itu akan pupus juga oleh waktu, meninggalkan anak anaknya dengan segudang rasa sakit.
Kehidupannya di sekolah tidak meninggalkan kesan indah. Bujo muak dengan sekolah. Bersekolah membantunya menemukan kekurangannya, menggali kesalahan-kesalahannya hingga ke dasar-dasar, menganugerahkannya sebuah nilai yang bahkan dia tak tahu nilai itu akan diapakan dalam kehidupan yang lebih luas, masalah-masalah kehidupan yang tidak sesederhana nilai matematika A,B,C,D atau E.
Bujo ada di peringkat 16 dari 35 kepala di kelasnya. Hanya rasa geli menghampirinya tanpa malu-malu tiap kali Bujo melihat rapor, yang ada dalam bayangannya adalah segerombolan bebek yang sedang berjalan dan dia adalah bebek pada urutan ke 16.
Hanya ada satu guru yang hingga kini masih melekat dalam ingatannya, Pak Berto. Pak Berto baik, selalu bersahabat dengan muridnya, setidaknya di dalam kelas, dia memposisikan muridnya sama rata, tidak memberi label pintar, bodoh atau malas atau label lain.
Pak Berto tidak seperti guru lain yang bisanya memberi ceramah satu arah lalu seisi ruangan dipaksa manggut-manggut bak penyanyi rap, seolah mengerti dengan apa yang dia katakan padahal tidak.
Dalam kesempatan kosong, Bujo sering mencuri waktu menggambar robot di bukunya. Bukan hanya satu robot tapi banyak. Mereka adalah murid-murid dalam kelas yang digerakkkan oleh kurikulum yang kaku, membunuh kreativitas, oleh ambisi- ambisi pribadi orangtua yang mau anaknya terus berprestasi agar terlihat bergengsi di permukaan.
Ibu Bujo bukan wanita yang religius. Dia hampir tidak pernah sembahyang. Seingat Bujo sang ibu pernah berkata, “Buat apa sembahyang, Jo, kalau kamu masih berbuat dosa, tidak hormat sama orangtua, sama guru dan sama pemuka agama.”
Dalam hati Bujo mendengus, termasuk Ibu yang lupa sama anak karena menomorsatukan karir dan uang. Ibu juga gak pantas sembahyang, gumamnya dalam hati.
Lagipula Bujo juga tidak butuh ke tempat ibadah. Tidak ada panutan yang mampu menggiringnya menuju bahagia.
***
Baru setengah perjalanan turun Gunung Semeru, Bujo sudah merasakan lelah luar biasa. Kakinya gemetar sangat keras. Hatinya meracau. Keringat mengalir deras. Seharusnya hari ini, gumamnya. Bukan besok, bukan lusa.
Kegelisahan berkepanjangan. Sepanjang hidupnya, Bujo mengais kasih sayang, mencari panutan hidup. Di mana panutan hidupnya? Tuhan telah membuat rencana untuk hidupnya, bahwa seorang Bujo tak pantas mencicipi rasa bahagia, manisnya cinta kasih. Langkahnya gontai, Sekujur tubuhnya mati rasa. Bujo memaksa untuk tetap berjalan. Sedikit lagi, aku harus bertahan. Bujo terus berjalan, langkahnya pendek dan pelan, lama lama menjadi semakin pelan. Dia tidak ingat hal terakhir yang terjadi padanya, setelah kaki itu jatuh terperosok ke dalam lubang besar. Yang terasa, hanya sakit.
Dua hari sejak kejadian itu, Ibu Bujo yang menyadari bahwa putranya hilang melaporkan kehilangannya ke polisi. Bersamaan dengan itu masyarakat menemukan sesosok mayat yang diduga adalah Bujo. Setelah dibawa ke rumah sakit, benarlah bahwa itu Bujo yang malang.
Menurut cerita yang beredar, sejak kematian Bujo, sang Ibu semakin jarang di rumah, lebih sering bekerja. Mbak Idah menceritakan bahwa keluarga Bujo semakin kehilangan denyutnya. Kiamat, seperti yang selalu diharapkan Bujo.
“Namun Bujo tidak benar-benar mati,” ucap Mbak Idah. “Dan tidak pernah benar-benar hidup!” (T)