SEWAKTU-WAKTU, ketika sedang bersama saya, jangan heran jika saya curahi cerita. Biasanya, judul yang mengemban kandungan cerita itu tak cukup sabar tetap tersimpan dalan vestiaire angan-angan. Saya akan menyampaikan semacam fragmen: mungkin segerumbul percakapan para tokoh, atau gambaran perilaku, bahkan semacam abstraksi hikayat, atau hal-hal yang menjadi tumpuan tema.
Mengapa demikian? Jika suatu ketika saya mau menulis, dan kebetulan lupa harus mulai dari mana, saya tinggal menelepon kawan yang sempat mendengarkan ‘petikan’ kisah saya di waktu lalu.
Pernah di suatu kesempatan makan malam dengan dua sahabat – Agni Amorita dan Andy Fuller – di kafé, saya menceritakan tentang perilaku seseorang yang sedang patah hati yang dipandang tak masuk akal oleh tokoh lainnya… Kadang-kadang saya juga meminta pendapat mereka, sebagai respon jujur, apakah cerita itu cukup menarik.
Jadi jangan heran jika suatu saat nanti saya akan menanyakan pada Anda detail yang mungkin terlepas dari ingatan, karena Anda yang pernah saya curahi cerita.
Begitulah. Tak ada rasa cemas, andai gagasan itu kemudian dicuri sang pendengar yang kebetulan (dan biasanya) juga seorang pengarang. Jika memang diambil alih, saya akan turut gembira karena ternyata ide yang berasal dari kepala saya itu menarik juga dibuat cerpen oleh orang lain.
Tetapi, boleh jadi, cara kita bercerita berbeda. Contohnya, ketika mengobrol seusai acara diskusi buku di Pustaka Rumah Dunia, komunitas yang diasuh dan milik Gola Gong, saya menceritakan cerpen yang saya tulis ketika masih SMP. Dalam cerpen saya yang berjudul “Pulau Timbul Tenggelam” itu, ada sebuah pulau yang penduduknya memiliki paru-paru sekaligus insang.
Mengapa demikian? Karena pulau tersebut secara alamiah akan tenggelam ke bawah laut selama enam bulan, dan enam bulan lainnya berada di atas permukaan air…
Beberapa hari kemudian, Ucu Agustin, pengarang yang pada waktu itu tergabung dalam obrolan, meminta izin untuk menjumput gagasan tentang manusia yang memiliki dua alat pernapasan itu. Tentu saja saya mengizinkan. Apa salahnya?
Seperti juga pengarang-pengarang lain, dalam menulis prosa, saya tidak membuat konsep terlebih dahulu. Langsung tulis saja. Bahkan sejak menggunakan mesin ketik konvensional (yang saya miliki dari Ibu sebagai hadiah ulang tahun ke-18).
Dulu, untuk menulis cerpen 8 halaman, kadang-kadang membutuhkan lebih dari seratus lembar kertas. Karena selalu ada suntingan atau perubahan setiap kali dibaca ulang. Namun kini ketika menggunakan komputer, jika salah ketik mudah dihapus. Mudah dipindah, digandakan, dan yang lebih terasa manfaatnya: dapat disimpan secara paperless.
Dengan kemampuan alat seperti itu, kebiasaan saya mengoleksi judul semakin terasa dimudahkan. Kini setiap bepergian, saya senantiasa membawa flashdisk, yang di dalamnya telah siap sekitar sepuluh file dengan masing-masing judul.
Lantas bagaimana cara saya bekerja? Duduk manis di depan laptop, membuka file pertama, misalnya: Puisi di Bangku Taman. Eh, baru lima paragraf mendadak buntu, segera saya buka file kedua: Mengapa Hiuma Berduka? Hei, itu fabel! Cerita buat anak-anak! Tak jadi soal.
Entah mengapa, ada saja yang secara otomatis mengubah setelan di rongga benak saya, bisa tiba-tiba muncul fantasi kanak-kanak, atau justru gagasan yang surealis. Demikian seterusnya.
Jadi, jika saya membekal sebuah flashdisc, untuk menyimpan calon naskah, bisa dibayangkan: ada berapa calon cerpen, puisi, novelet, di dalamnya? Tapi, berpuluh gagasan itu tak semua mengalir seperti sungai di musim hujan.
Kadang-kadang, oleh kesibukan pekerjaan formal yang menyerobot waktu-waktu pribadi, terutama saat ada event yang melampaui jam kerja, mau tidak mau ‘mereka’ harus bersabar menunggu disentuh. Tapi, menyimpan ‘mereka’ di dalam flashdisk atau laptop, tak ada yang perlu dikhawatirkan, kecuali serombongan virus jahat menghapusnya secara telengas.
Ayo lakukan seperti cara saya! Pasti mengasyikkan. Tapi kalau ada cara yang lebih mudah dan lebih nyaman, jangan lupa memberi tahu saya. Tak segan-segan saya bakal mengadopsinya. Karena, menurut seorang motivator bisnis bernama Tung Desem Waringin, meniru yang sudah bagus akan lebih baik sebagai jalan pintas menuju kemajuan. Jadi tak perlu repot-repot berangkat dari nol!
Ketika menulis, saya tidak perlu menyepi ke balik gunung atau menyelam ke dasar samudera. Karena saya bukan termasuk pengarang ‘menara gading’ atau seorang pertapa. Cukuplah saya menempati koridor yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang makan.
Sambil sesekali menonton televisi, atau membimbing anak-anak mengerjakan PR (waktu mereka masih SD dan SMP). Atau di meja kantor ketika jam kerja belum mulai (dahulu saya sering datang kepagian karena ada kewajiban mengantar anak-anak yang masuk sekolah jam tujuh).
Atau di sebuah warnet dekat hotel tempat menginap ketika sedang tugas keluar kota (kini hamper semua hotel memeberikan fasilitas wi-fi). Yang paling kerap terjadi, saya menulis antara pukul 22 sampai lewat tengah malam. (T)
Catatan: Tulisan ini adalah bagian 2 dari 5 Tulisan