RATUSAN anak mendadak berlarian dari sisi barat dan timur Taman Lumintang, Denpasar. Mereka menghambur begitu saja di tengah-tengah lapangan. Mereka menari, berlari, kejar-kejaran, melompat-lompat kegirangan. Semuanya tersenyum. Semuanya tertawa.
Ada yang menari, ada yang bermain goak-goakan, ada yang bermain tajog, malah ada juga yang bermain dengkleng. Mereka bermain dengan lepas sesuka hati. Semuanya dilakukan dengan suka cita.
Gerakan-gerakan permainan itu sejatinya bagian dari koreografi sederhana yang dipertontonkan pada ajang Rare Bali Festival 2016, yang berakhir Minggu (7/8). Koreografi sederhana itu merupakan sari dari permainan rakyat di Bali, yang harus diakui dewasa ini jarang dimainkan anak-anak.
Rare Bali Festival adalah satu dari sekian banyak festival non populer yang ada di Bali, khususnya di Denpasar. Jangan bayangkan festival ini berlangsung megah dan mewah seperti Sanur Village Festival atau Denpasar Festival. Festival yang berlangsung selama dua hari, 6-7 Agustus itu justru sangat sederhana. Namun festival itu memiliki misi idealisme yang tinggi: melestarikan permainan tradisional dan menanamkan wawasan berbudaya pada anak.
Festival itu dilaksanakan untuk kedua kalinya. Sebelumnya festival itu diselenggarakan pada tahun 2014 lalu di Jalan WR. Supratman, Denpasar, tepat di depan Rumah Budaya Penggak Men Mersi. Tahun ini, Rumah Budaya Penggak Men Mersi yang menjadi penggagas sekaligus pelaksana kegiatan, melangsungkannya di Taman Lumintang.
Rare Bali Festival bisa dibilang anti tesis kegiatan anak-anak di era digital. Ketika anak-anak semakin dekat dengan gadget dan menjauhi permainan tradisional apalagi seni tradisi, Rare Bali Festival justru mengajak dan memaksa anak-anak mengenali permainan tradisional dan seni tradisi.
Festival ini juga melawan pola pikir orang tua kekinian. Ketika orang tua menekankan kemampuan akademik bagi anak, Rare Bali Festival menawarkan ruang berkesenian, berbudaya, berkreasi, sastra, menyanyi, dan segala hal yang bersifat non akademik.
Hasilnya, anak-anak bersemangat dan bergembira. Semuanya menumpahkan kreasi mereka. Mereka memuaskan hasrat memainkan permainan tradisional. Jauh dari gadget – setidaknya untuk sementara waktu.
“Buktinya mereka bisa menikmati permainan tradisional. Mereka bisa senang, bisa tertawa, bisa bergembira dengan teman-temannya. Tujuan kami memang itu, mengajak anak memainkan permainan tradisional dan megenali seni tradisi. Supaya ada keseimbangan intelektual, emosional, dan spiritual bagi mereka,” ungkap Kadek Wahyudita, Kelian Rumah Budaya Penggak Men Mersi.
Festival yang didedikasikan bagi anak-anak itu, bukan hanya soal permainan tradisional. Berbagai kegiatan dirancang untuk menggandeng anak-anak yang baru berusia lima tahun, hingga yang berusia 17 tahun. Anak-anak berusia lima tahun, diajak mengenal permainan tradisional, menggambar, melukis, serta berkreasi dari barang bekas. Anak-anak sekolah dasar juga begitu.
Sementara anak-anak SMP diajak melakukan kegiatan kreatif yang lebih serius, seperti membuat produk kreatif dari sampah yang memiliki nilai tepat guna juga nilai ekonomis. Pikiran mereka liar, berkreasi mereproduksi sampah. Ada yang membuat mobil-mobilan dari kaleng bekas, lampur belajar dari lidi, bak sampah dari tutup botol minuman air kemasan, malah ada yang membuat beton yang bahan utamanya dari plastik.
Sedangkan untuk kalangan remaja, dirancang kegiatan-kegiatan sepertistand up comedy. Mereka juga diberi panggung guna mementaskan keahlian mereka berkesenian, entah itu seni tradisi atau seni modern.
Salah satu ruang berkesenian yang banyak mendapat apresiasi adalah ruang berkesenian di seni rupa. Dari lomba melukis yang diselenggarakan pada Rare Bali Festival, disebut banyak muncul ide-ide kreatif yang terinspirasi dari lingkungan sekitar. Banyak bibit-bibit unggul yang perlu dipoles, bahkan diyakini bisa menjadi perupa andal di masa mendatang.
“Melihat dari karya yang muncul, saya berharap ada ruang yang lebih besar untuk proses kreatif di bidang seni rupa, khususnya lukis. Untuk ukuran usia mereka, hasil karya mereka sangat luar biasa,” ungkap perupa Made Bendi Yudha, yang juga Pembantu Dekan II Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Misi idealis pada ajang Rare Bali Festival juga mendapat apresiasi dari Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. Pucuk pimpinan di Pemerintah Kota Denpasar itu mengakui pentingnya Rare Bali Festival. Rai Mantra menyadari bahwa Rare Bali Festival tidak akan mendatangkan keuntungan jangka pendek, tak memberikan perputaran ekonomi yang besar, juga tak mendatangkan penonton dalam jumlah masif.
Rai Mantra memandang Rare Bali Festival adalah salah satu proses pendidikan yang harus ditempuh. Festival ini juga menjadi ruang yang sangat besar untuk memberikan pendidikan di bidang non akademik. Pendidikan pun tidak hanya didapatkan di sekolah. Rai Mantra menyebut angka pendidikan dari sekolah, hanya 33 persen. Sementara 77 persen sisanya ada di lingkungan juga pendidikan orang tua.
“Pendidikan itu bukan hanya akademik saja, tapi ada di luar itu. Ada permainan tradisional, ada ajang kreatif, ada juga seni tradisi. Lewat festival ini kita kenalkan seni tradisi itu. Kita kenalkan permainan tradisional. Dampaknya memang tidak langsung,” ucap Rai Mantra.
Festival idealis semacam Rare Bali Festival, memang tidak memberikan dampak secara langsung. Namun dengan mengenalkan permainan tradisional pada anak-anak, warisan budaya adiluhung serta pesan pendidikan dan moral dalam permainan tradisional, bisa sampai pada anak-anak. Bahkan bisa dibawa hingga ketika dewasa.
Pun demikian dengan pengenalan seni tradisi pada ajang tersebut. Anak-anak lambat laun mencintai seni tradisi. Kesenian tradisi pada masa yang akan datang pun tak sulit mendapatkan generasi penerus. Terlepas dari itu, dengan pengenalan pada seni tradisi dan permainan tradisional, anak pun semakin jauh dari dampak negatif yang dimunculkan dari kemajuan teknologi, seperti pengaruh video porno dan narkotika dapat dicegah.
“Jangka panjang, kekerasan pada anak, baik itu kekerasan seksual, kekerasan fisik, penyalahgunaan narkotika, itu bisa dikurangi. Paling penting misi kami menjadikan Denpasar sebagi kota berwawasan budaya itu bisa kami capai. Caranyayaitu tadi, mengenalkan seni tradisi sejak dini, utamanya kalangan anak,” tutup Rai Mantra. (T)